Hukum Bersetubuh Dengan Istri Yang Istihadhah
Darah istihadah adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan di luar siklus adat haid atau di luar waktu haid, serta bukan disebabkan karena wiladah. Biasanya, perempuan mengalami haid selama 6 - 8 hari paling lama 15 hari.
jika lebih dari 15 hari maka disebut dengan Istihadhah. Seorang perempuan yang mengalami istihadhah diwajibkan beribadah, seperti shalat, puasa dan ibadah lainnya.
Berikut Pandangan Ulama Tentang Perempuan Yang Mengalami Istihadhoh :
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 44 Hal : 21
Ikhtilaf ulama tentang kebolehan menjima' istri yang sdng istihadlah, Ada 2 qoul ulama.
Qoul yang pertama :
Sebagian Ulama fiqih dari kalangan madzhab hanafiyah, syafiiyah malikiyah dan hanbaliyah. Membolehkan bersetubuh saat Istri Istihadhah. Ini Berdasarkan salah satu riwayat tentang kebolehan bersetubuh saat istri istihadhah.
Imam Mundzir menukil pendapat Imam Ibnu Abbas Ra, Ibnu musayyab, Al hasan, Imam Atho' Imam qotadah said bin juber, Imam ahmad bin abi sulaiman, Imam abu bakr abdullah bin mujn, Imam auja'i, atsaury, Ishaq, Imam abu tsaur, Dan beliau berkata : "Mereka para ulama ahli fiqih mengambil hujah melalui firman Allah (). Ini keadaan hukum wanita yg bersih (suci) dari haidl. Dan juga berdasarkan satu riwayat, "Bahwa hamnah bin jahsyin Rh sedang dalam keadaan istihadlah sedangkan suaminya (tholhah bin 'ubed) menyetubuhi-Nya. Dalam riwayat lain, "Bahwa ummu habibih saat itu sedang istihadlah dan suaminya (Abdurrahman in auf) menyetubuhinya. Lalu keduanya bertanya tentang HUKUM WANITA YANG ISTIHADLAH kepada rasulallah SAW. Maka jika persetubuhan itu adalah "HARAM", niscaya nabi SAW sudah menjelaskan kepada keduanya.
Wanita istihadhah seperti orang yg suci dalam pelaksanaan shalat, puasa, i'tikaf, membaca Al quran dan yg lainya. Demikian halnya bersetubuh. karena darah dari istihadhah adalah darah yang keluar dari urat pd bagian vagina, maka tidaklah menolak boleh-Nya persetubuhan, Seperti halnya orang yg terkena wasir, karena keharaman menurut syar'i, tidaklah menolak keharaman pada hak-Nya, bahkan boleh solat pd saat istihadlah. yg demikian itu dihukumi lebih besar dari persetubuhan.
Qoul yang kedua,
Ulama dari kalangan hanbali, Dan Imam Ibnu siriin, Imam Syu'b, Imam Anakh'i Al Hakm, Imam Aliyah dari kalangan madzhab malikiyah. mereka mengharamkan persetubuhan pd saat Istri dalam keadaan Istihadlah kecuali jika mereka takut akan zina. Karena ada riwayat dari A'isyah Ra, ia berkata : " Seorang istri yg istihadlah, suami tidak boleh menyetubuhinya." Dengan alasan, karena ia masih dalam keadaan kotor, maka haram menyetubuhi-Nya seperti halnya wanita yg sedang haidl.
Allah SWT melarang menyetubuhi wanita yg sedang haidl disebabkan karena masih dalam keadaan kotor. (قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض) Artinya, Katakan, haidl itu adalah Kotoran , maka hidarilah wanita pd saat haidh.
Allah SWT memerintahkan untuk menjauhi wanita yang sedang haidl karena ia dalam keadaan kotor. Disebutkan dengan mengunakan huruf fa Ta'qib, karena hukum bila dipaparkan bersamaan sifat yang di tetapkan hukum-Nya, maka baik baginya alasan tersebut. Kotoran menjadi alasan utama, dan itu nampak pada perempuan yang mengalami istihadlah. maka menyetubuhi-Nya di hukumi haram.
Hasyiyah Ibnu Abidin Ala Durrul Mukhtar, Juz : 1 Hal : 291
Darah istihadlah hukumnya seperti RUAF (mimisan) yang terus hingga puncak sempurna-Nya waktu, hal demikian tdk mencegah kewajiban sholat dan puasa, sekalipun itu hanya sholat sunat, dan kondisi tersebut juga tdk menolak kebolehan jima' karena ada hadits : " Berwudlulah dan sholatlah meskipun darah istihadlah menetes di atas tikar.
Keterangan di bolehkan-nya jima':
Dari disini nampak kehalalan jima' meskipun dalam keadaan darah mengalir dan sekalipun darah tersebut terus menerus menetes.
Jawahirul Iklil Syarah Muhtashor Kholil, Juz : 1 Hal : 31
Lalu perempuan yg istihadlah, diperintahkan untuk mandi wajib pd saat berhenti-Nya darah haidl, maka boleh puasa, sholat dan bersetubuh
Keterangan "Mustahadloh" yakni wanita yang istihadlah), Itu bukan seperti wanita yang haidl, maka ia dianjurkan mandi pd saat terhentinya haidl, dan diwajibkan sholat serta puasa , juga di bolehkan bersetubuh. Adapun darah yang menetes atas-nya pen_ sampai keterangan " Mushonif berkata: "Ia Boleh bersetubuh setelah mandi wajib dengan tata cara yang benar. Ini berbeda dengan pendapat Shohibul irsyad : tidak boleh suami menjima' pd saat istri istihadlah.
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 2 Hal : 373
boleh menurut kami bersetubuh dgn istri mustahadlah, pd waktu yg di mahkum, karena itu adalah suci meskipun darah itu mengalir. Dan menurut kami, tdk ada kontroversi pendapat tentang itu.
Berkata Al qadhi abu thoyyib, Imam ibnu sheba' Imam Al Abdari, pendapat tersebut di ambil dari mayoritas ulama. Imam Al mudzir menuqil dalam kitab Al Asyraf dari penuturan Imam Ibnu Abaas Ra, Ibnu musayyab, Al hasan, Imam Atho' Imam qotadah said bin juber, Imam ahmad bin abi sulaiman, Imam abu bakar abdullah bin muzani, Imam auja'i, atsauri, Ishaq, Imam abu tsaur, Dan beliau berkata, dan dengan Qoul itu aku pun berkata, melalui hikayat A'isyah, Lalu Imam al-Nakha'i Al Hakam, dan Ibnu Siriin menolak pendapat tersebut. Imam Baihaqi dan yg lain-nya menyebutkan :" Bahwa Penukilan penolakan itu dari hadits A'isyah yang bukan hadits shohih dari-Nya, akan tetapi itu adalah ucapan Imam Asya'bi lalu mentajrid sebagian perawi kedalam hadits Tersebut.
Berkata Imam Ahmad : Tidak Boleh bersetubuh dgn wanita istihadlah kecuali suami takut zina,
Mereka yang menolak mengambil hujah dengan alasan bahwa darah yg mengalir menyerupai wanita yang sedang haidl. dan berhujah shohabat2 kami mengikuti ucapan imam Syafii di dalam kitab Al Umm, yakni firman Allah SWT () jgn dekati mereka hingga mereka bersih, apabila mereka sdh bersih maka datangilah mereka.
Sebagian mereka juga mengambil hujah dari hadits yg di riwayatkan oleh Ikrimah Ra dari Hamnah binti jahsyin Rh, bahwasanya ia sedang istihadhah dan suami-Nya menjima'-Nya. Dan riwayat abu daud dan selain beliau dengan isnad yg hasan dalam shoheh bukhari, beliau berkata, Rasulallah SAW bersabda, berkata Ibnu Abbas : Perempuan yg istihadlah, boleh seorang suami mendatanginya. Jika memang sholat itu lebih dibolehkan, maka demikian halnya jima' karena darah yg keluar pada saat istihadlah, tidak menolak kehalalan jima' seperti hal penyakit.
Jika Keharaman syar'i tidak dapat menolak sebuah keharaman. maka penolakan kebolehan-Nya solat adalah lebih besar dari sudut pandang agama.
Sebagaimana Imam Ibnu Abbas Ra menuturkan, ini merupakan jawaban dari qias mereka atas prempuan yg haidl, bahwa yang demikian adalah Qias yang bertentangan dengan dalil dalil Al quran dan sunah maka dalil tersebut tidak akan di terima, karena seorang perempuan yg istihadlah di hukumi "suci"
Dan tidak di bolehkan menjima perempuan yg istihadlah selain takut perbuatan zina, baik suami ataupun istri, berdasarkan ucapan 'Aisyah : "Perempuan yg istihadlah maka suami tdk boleh menjima-Nya, karena itu adalah penyakit maka haram menjima'nya sebagaimana menjima' perempuan yg haidl.
Sebagian ulama ahli fiqih ada yg membolehkan secara muthlak, pendapat tersebut adalah pendapat mayoritas ulama, karena ada riwayat hadits : "Hamnah Binti Jahsyin Saat itu sedang Istihadhah lalu suaminya menjima' -Nya
Sunan Ibnu Majah, Juz : 2 Hal : 784
Waallahu A'lam Bishowab
Referensi :
1. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 2 Hal : 373 (Madzhab Syafi’i)
2. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 44 Hal : 21 (Fiqih Perbandingan)
3. Hasyiyah Ibnu Abidin Ala Durrul Mukhtar, Juz : 1 Hal : 291 (Madzhab Hanafi)
4. Jawahirul Iklil Syarah Muhtashor Kholil, Juz : 1 Hal : 31 (Madzhab Maliki)
5. Kasysyaful Qona’, An Matnil Iqna’, Juz : 1 Hal : 218 (Madzhab Hanbali)
6. Sunan Ibnu Majah, Juz : 2 Hal : 784
jika lebih dari 15 hari maka disebut dengan Istihadhah. Seorang perempuan yang mengalami istihadhah diwajibkan beribadah, seperti shalat, puasa dan ibadah lainnya.
Berikut Pandangan Ulama Tentang Perempuan Yang Mengalami Istihadhoh :
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 44 Hal : 21
اختلف الفقهاء في جواز وطء المستحاضة على قولين القول الأول: ذهب جمهور الفقهاء من الحنفية والشافعية والمالكية وأحمد في إحدى الروايتين عنه إلى جواز وطء المستحاضة. وقد نقله ابن المنذر عن ابن عباس رضي الله عنه وابن المسيب والحسن وعطاء وقتادة وسعيد بن جبير وحماد بن أبي سليمان وبكر بن عبد الله المزني والأوزاعي والثوري وإسحاق وأبي ثور، وقال ابن المنذر: وبه أقول واحتجوا على ذلك بقوله تعالى: {حتى يطهرن } . وهذه طاهرة من الحيض، وبما روي أن حمنة بنت جحش رضي الله عنها كانت تستحاض، وكان زوجها طلحة بن عبيد الله يجامعها، وأن أم حبيبة رضي الله عنها كانت تستحاض، وكان زوجها عبد الرحمن بن عوف يغشاها ، وقد سألتا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أحكام المستحاضة، فلو كان وطؤها حراما لبينه لهما. ولأن المستحاضة كالطاهر في الصلاة والصوم والاعتكاف والقراءة وغيرها، فكذلك في الوطء، ولأنه دم عرق، فلم يمنع الوطء كالناسور، ولأن التحريم بالشرع، ولم يرد بتحريم في حقها، بل ورد بإباحة الصلاة التي هي أعظم
Qoul yang pertama :
Sebagian Ulama fiqih dari kalangan madzhab hanafiyah, syafiiyah malikiyah dan hanbaliyah. Membolehkan bersetubuh saat Istri Istihadhah. Ini Berdasarkan salah satu riwayat tentang kebolehan bersetubuh saat istri istihadhah.
Imam Mundzir menukil pendapat Imam Ibnu Abbas Ra, Ibnu musayyab, Al hasan, Imam Atho' Imam qotadah said bin juber, Imam ahmad bin abi sulaiman, Imam abu bakr abdullah bin mujn, Imam auja'i, atsaury, Ishaq, Imam abu tsaur, Dan beliau berkata : "Mereka para ulama ahli fiqih mengambil hujah melalui firman Allah (). Ini keadaan hukum wanita yg bersih (suci) dari haidl. Dan juga berdasarkan satu riwayat, "Bahwa hamnah bin jahsyin Rh sedang dalam keadaan istihadlah sedangkan suaminya (tholhah bin 'ubed) menyetubuhi-Nya. Dalam riwayat lain, "Bahwa ummu habibih saat itu sedang istihadlah dan suaminya (Abdurrahman in auf) menyetubuhinya. Lalu keduanya bertanya tentang HUKUM WANITA YANG ISTIHADLAH kepada rasulallah SAW. Maka jika persetubuhan itu adalah "HARAM", niscaya nabi SAW sudah menjelaskan kepada keduanya.
Wanita istihadhah seperti orang yg suci dalam pelaksanaan shalat, puasa, i'tikaf, membaca Al quran dan yg lainya. Demikian halnya bersetubuh. karena darah dari istihadhah adalah darah yang keluar dari urat pd bagian vagina, maka tidaklah menolak boleh-Nya persetubuhan, Seperti halnya orang yg terkena wasir, karena keharaman menurut syar'i, tidaklah menolak keharaman pada hak-Nya, bahkan boleh solat pd saat istihadlah. yg demikian itu dihukumi lebih besar dari persetubuhan.
القول الثاني: ذهب الحنابلة في المذهب وابن سيرين والشعبي والنخعي والحكم وابن علية من المالكية إلى أنه لا يباح وطء المستحاضة من غير خوف العنت منه أو منها، لما روي عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت: " المستحاضة لا يغشاها زوجها " . ولأن بها أذى فيحرم وطؤها كالحائض، فإن الله تعالى منع وطء الحائض معللا بالأذى بقوله: {قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض } . فأمر باعتزالهن عقيب الأذى مذكورا بفاء التعقيب، ولأن الحكم إذا ذكر مع وصف يقتضيه ويصلح له علل به، والأذى يصلح أن يكون علة فيعلل به، وهو موجود في المستحاضة فيثبت التحريم في حقها
Qoul yang kedua,
Ulama dari kalangan hanbali, Dan Imam Ibnu siriin, Imam Syu'b, Imam Anakh'i Al Hakm, Imam Aliyah dari kalangan madzhab malikiyah. mereka mengharamkan persetubuhan pd saat Istri dalam keadaan Istihadlah kecuali jika mereka takut akan zina. Karena ada riwayat dari A'isyah Ra, ia berkata : " Seorang istri yg istihadlah, suami tidak boleh menyetubuhinya." Dengan alasan, karena ia masih dalam keadaan kotor, maka haram menyetubuhi-Nya seperti halnya wanita yg sedang haidl.
Allah SWT melarang menyetubuhi wanita yg sedang haidl disebabkan karena masih dalam keadaan kotor. (قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض) Artinya, Katakan, haidl itu adalah Kotoran , maka hidarilah wanita pd saat haidh.
Allah SWT memerintahkan untuk menjauhi wanita yang sedang haidl karena ia dalam keadaan kotor. Disebutkan dengan mengunakan huruf fa Ta'qib, karena hukum bila dipaparkan bersamaan sifat yang di tetapkan hukum-Nya, maka baik baginya alasan tersebut. Kotoran menjadi alasan utama, dan itu nampak pada perempuan yang mengalami istihadlah. maka menyetubuhi-Nya di hukumi haram.
Hasyiyah Ibnu Abidin Ala Durrul Mukhtar, Juz : 1 Hal : 291
ودم استحاضة) حكمه (كرعاف دائم) وقتا كاملا (لا يمنع صوما وصلاة) ولو نفلا (وجماعا) لحديث «توضئي وصلي وإن قطر الدم على الحصيرقوله وجماعا) ظاهره جوازه في حال سيلانه وإن لزم منه تلويث، وكذا هو ظاهر غيره من المتون والشروح وكذا قولهم: يجوز مباشرة الحائض فوق الإزار وإن لزم منه التلطخ بالدم، وتمامه في ط
Darah istihadlah hukumnya seperti RUAF (mimisan) yang terus hingga puncak sempurna-Nya waktu, hal demikian tdk mencegah kewajiban sholat dan puasa, sekalipun itu hanya sholat sunat, dan kondisi tersebut juga tdk menolak kebolehan jima' karena ada hadits : " Berwudlulah dan sholatlah meskipun darah istihadlah menetes di atas tikar.
Keterangan di bolehkan-nya jima':
Dari disini nampak kehalalan jima' meskipun dalam keadaan darah mengalir dan sekalipun darah tersebut terus menerus menetes.
Jawahirul Iklil Syarah Muhtashor Kholil, Juz : 1 Hal : 31
ثم هي مستحاضة وتغتسل كلما انقطع وتصوم وتصلي وتوطأهى مستحاضة) لا حائض فتغتسل من الحيض وتصلى وتصوم وتوطأ والدم نازل عليها -إلى أن قال- وتوطأ بعد غسلها على المعروف خلافا لصاحب الارشاد القائل لا يجوز وطؤها
Keterangan "Mustahadloh" yakni wanita yang istihadlah), Itu bukan seperti wanita yang haidl, maka ia dianjurkan mandi pd saat terhentinya haidl, dan diwajibkan sholat serta puasa , juga di bolehkan bersetubuh. Adapun darah yang menetes atas-nya pen_ sampai keterangan " Mushonif berkata: "Ia Boleh bersetubuh setelah mandi wajib dengan tata cara yang benar. Ini berbeda dengan pendapat Shohibul irsyad : tidak boleh suami menjima' pd saat istri istihadlah.
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 2 Hal : 373
يجوز عندنا وطئ المستحاضة في الزمن المحكوم بأنه طهر وإن كان الدم جاريا وهذا لا خلاف فيه عندنا قال القاضي أبو الطيب وابن الصباغ والعبد رى وهو قول أكثر العلماء ونقله ابن المنذر في الإشراف عن ابن عباس وابن المسيب والحسن وعطاء وسعيد بن جبير وقتادة وحماد بن أبي سليمان وبكر بن عبد الله المزني والاوزاعي ومالك والثوري واسحق وأبي ثور قال ابن المنذر وبه أقول وحكي عن عائشة والنخعي والحكم وابن سيرين منع ذلك وذكر البيهقي وغيره أن نقل المنع عن عائشة ليس بصحيح عنها بل هو قول الشعبي أدرجه بعض الرواة في حديثها وقال احمد لا يجوز الوطئ إلا أن يخاف زوجها العنت واحتج للمانعين بأن دمها يجري فأشبهت الحائض واحتج أصحابنا بما احتج به الشافعي في الأم وهو قول الله تعالى (فاعتزلوا النساء في المحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن) وهذه قد تطهرت من الحيض واحتجوا أيضا بما رواه عكرمة عن حمنة بنت جحش رضي الله عنها أنها كانت مستحاضة وكان زوجها يجامعها رواه أبو داود وغيره بهذا اللفظ بإسناد حسن وفي صحيح البخاري قال قال ابن عباس المستحاضة يأتيها زوجها إذا صلت الصلاة أعظم ولأن فكذا في الوطئ ولانه دم عرق فلم يمنع الوطئ كالناسور ولأن التحريم بالشرع ولم يرد بتحريم بل ورد بإباحة الصلاة التي هي أعظم كما قال ابن عباس والجواب عن قياسهم على الحائض أنه قياس يخالف ما سبق من دلالة الكتاب والسنة فلم يقبل ولأن المستحاضة لها حكم الطاهرات في غير محل النزاع فوجب إلحاقه بنظائره لا بالحيض الذي لا يشاركه في شئ
Berkata Al qadhi abu thoyyib, Imam ibnu sheba' Imam Al Abdari, pendapat tersebut di ambil dari mayoritas ulama. Imam Al mudzir menuqil dalam kitab Al Asyraf dari penuturan Imam Ibnu Abaas Ra, Ibnu musayyab, Al hasan, Imam Atho' Imam qotadah said bin juber, Imam ahmad bin abi sulaiman, Imam abu bakar abdullah bin muzani, Imam auja'i, atsauri, Ishaq, Imam abu tsaur, Dan beliau berkata, dan dengan Qoul itu aku pun berkata, melalui hikayat A'isyah, Lalu Imam al-Nakha'i Al Hakam, dan Ibnu Siriin menolak pendapat tersebut. Imam Baihaqi dan yg lain-nya menyebutkan :" Bahwa Penukilan penolakan itu dari hadits A'isyah yang bukan hadits shohih dari-Nya, akan tetapi itu adalah ucapan Imam Asya'bi lalu mentajrid sebagian perawi kedalam hadits Tersebut.
Berkata Imam Ahmad : Tidak Boleh bersetubuh dgn wanita istihadlah kecuali suami takut zina,
Mereka yang menolak mengambil hujah dengan alasan bahwa darah yg mengalir menyerupai wanita yang sedang haidl. dan berhujah shohabat2 kami mengikuti ucapan imam Syafii di dalam kitab Al Umm, yakni firman Allah SWT () jgn dekati mereka hingga mereka bersih, apabila mereka sdh bersih maka datangilah mereka.
Sebagian mereka juga mengambil hujah dari hadits yg di riwayatkan oleh Ikrimah Ra dari Hamnah binti jahsyin Rh, bahwasanya ia sedang istihadhah dan suami-Nya menjima'-Nya. Dan riwayat abu daud dan selain beliau dengan isnad yg hasan dalam shoheh bukhari, beliau berkata, Rasulallah SAW bersabda, berkata Ibnu Abbas : Perempuan yg istihadlah, boleh seorang suami mendatanginya. Jika memang sholat itu lebih dibolehkan, maka demikian halnya jima' karena darah yg keluar pada saat istihadlah, tidak menolak kehalalan jima' seperti hal penyakit.
Jika Keharaman syar'i tidak dapat menolak sebuah keharaman. maka penolakan kebolehan-Nya solat adalah lebih besar dari sudut pandang agama.
Sebagaimana Imam Ibnu Abbas Ra menuturkan, ini merupakan jawaban dari qias mereka atas prempuan yg haidl, bahwa yang demikian adalah Qias yang bertentangan dengan dalil dalil Al quran dan sunah maka dalil tersebut tidak akan di terima, karena seorang perempuan yg istihadlah di hukumi "suci"
ولا يباح وطء المستحاضة من غير خوف العنت منه أو منها) لقول عائشة: المستحاضة لا يغشاها زوجها ولأن بها أذى فحرم وطؤها كالحائض، وعنه يباح مطلقا، وهو قول أكثر العلماء لأن حمنة كانت تستحاض، وكان زوجها طلحة بن عبيد الله يجامعها، وأم حبيبة كانت تستحاض، وكان زوجها عبد الرحمن بن عوف يغشاها، رواهما أبو داود وقد قيل: إن وطء الحائض يتعدى إلى الولد فيكون مجذوما
Sebagian ulama ahli fiqih ada yg membolehkan secara muthlak, pendapat tersebut adalah pendapat mayoritas ulama, karena ada riwayat hadits : "Hamnah Binti Jahsyin Saat itu sedang Istihadhah lalu suaminya menjima' -Nya
Sunan Ibnu Majah, Juz : 2 Hal : 784
حدثنا محمد بن يحيى قال: حدثنا عبد الرزاق قال: أنبأنا معمر، عن جابر الجعفي، عن عكرمة، عن ابن
Kesimpulan :
- Ada 2 pendapat ulama tentang istihadhoh, ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan seorang suami menyetubuhi istri-Nya
- Pendapat Mayoritas ulama (Ijma') adalah membolekan Suami menjima' istri yg sedang Istihadhoh,
- Darah Istihadhoh seperti darah RUAF (Mimisan)
Waallahu A'lam Bishowab
Referensi :
1. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 2 Hal : 373 (Madzhab Syafi’i)
2. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 44 Hal : 21 (Fiqih Perbandingan)
3. Hasyiyah Ibnu Abidin Ala Durrul Mukhtar, Juz : 1 Hal : 291 (Madzhab Hanafi)
4. Jawahirul Iklil Syarah Muhtashor Kholil, Juz : 1 Hal : 31 (Madzhab Maliki)
5. Kasysyaful Qona’, An Matnil Iqna’, Juz : 1 Hal : 218 (Madzhab Hanbali)
6. Sunan Ibnu Majah, Juz : 2 Hal : 784
0 comments:
Post a Comment